Surat Terbuka Mantan Guru Honorer Terhadap Aksi Demo Guru Honorer di Depan Istana

Jika kita kembali mengingat apa itu definisi guru yaitu, seseorang yang memberikan ilmu yang sudah dipelajarinya kepada orang yang dirasa belum memiliki ilmu sehingga orang yang diberi ilmu menjadi tau, paham, dan ahli. Itulah seharusnya yang guru lakukan dalam membentuk karakter manusia yang tadinya tidak tau menjadi tau, tak bermoral menjadi bermoral, kurang ajar menjadi sopan, bahkan miskin menjadi kaya. Namun pemandangan berbeda bisa kita liat pada Rabu 10 Februari lalu, ribuan Guru berbondong - bondong mengikuti aksi nasional honorer K2. Demo tenaga honorer K2 tersebut diikuti hampir 15 ribu orang dari berbagai daerah. Terbanyak datang dari daerah-daerah di Pulau Jawa. Dari Jatim tercatat sebanyak 1.127 orang, Jawa Tengah sebanyak 3.538 orang, DIY 67 orang, Jawa Barat 6.796 orang, ditambah dari Kabupaten Bekasi 1.000 orang, DKI Jakarta 1.000 orang, Banten 500 orang. Dari Sumatera, tercatat 211 orang dari Lampung, Sumatera Selatan 212 orang, Bengkulu 25 orang, Aceh dan Padang masing-masing 5 orang, Medan dan Riau masing-masing 2 orang. Ada juga peserta dari Kalimantan Barat sebanyak 7 orang, Maluku 5 orang, Palu 3 orang, Sulawesi Barat 3 orang, Lombok, Bali, Papua masing-masing 2 orang.‎
Mereka menuntut kepada Presiden agar dikeluarkan Perppu mengenai pengangkatan honorer menjadi PNS. Namun, ditengah gelombang aspirasi yang dilakukan para Guru honorer, ada beberapa mantan Guru Honorer yang merasa tindakan ini sangat memalukan citra Guru Honorer sendiri. Salah satunya adalah Ali Antoni seorang mantan Guru Honorer yang mengaku malu melihat aksi yang dilakukan Guru Honorer didepan Istana dengan menuliskan postingan di akun facebooknya, beliau mengemukakan pendapatnya seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Tanggapan Mengenai Demo Honorer K2

Untuk lebih jelas, bisa liat teksnya secara langsung di bwah ini

 " Selamat pagi bapak dan ibu guru honor yg sedang panas2an.
Saya Ali Antoni, pernah seperti kalian juga, menjadi guru honor juga, dan walau hanya mengajar selama SEMBILAN tahun, saya rasa sudah cukup untuk tahu apa itu sekolah dan habit guru2nya.
Sebagai catatan, saya mengajar di tiga SMK terbesar di Jogja. Jam mengajar saya pernah sampai 50jam satu 
minggu. Dua kali lebih banyak dr guru sertifikasi. Mengajar sejak jam tujuh pagi sampaimaghrib pun pernah saya jalani. Dan gaji satu bulan hanya 800ribu. Itu di kota Budaya dan kota pendidikan, padahal.
Jadi tdk usah pamer derita di depan saya. Namun, walau begitu, saya adalah guru Seni Budaya yg pertama kali mendapat sertifikat TOT, sertifikat paling bergengsi, yg guru Seni PNS dan bukan di Jogja waktu itu belum ada yg punya. Saya juga pernah sejajar menang lomba menulis bersama guru SMA De Britto. Pun saya masuk dalam Finalis lomba lukis di Galeri Nasional kala itu.
Ini pamer, pasti. Biar kalian yg berdemo, tdk cuma demo, tapi prestasi kalian apa?
Belum lagi prestasi non akademik, saya menemani anak2 mabok di sekolah, mengobati yg kerasukan pake otak, bukan pake jompa jampi tai kucing, dan membebaskan anak yg ditangkap satpol PP.
Puncaknya, saya melaporkan kasus penyelewengan dana ke Ombudsman, dan terbongkar tiga perkara kejahatan sekolah.
Lalu saya dikeluarkan oleh penguasa sekolah.
Pertanyaan saya, bapak dan ibu pasti kualitasnya lebih baik dr saya sehingga pede banget melakukan demo. Sebab seumur hidup saya, tak pernah demo2 minta diangkat jadi PNS, walau sebareg prestasi sy punya.
Jangankan demo, ikut tes CPNS jadi guru saja, haram saya lakukan. Sebab bagi saya, jd guru honor itu adalah dharma, miskin adalah resikonya. Kalau jd guru PNS sertifikasi itu bukan dharma, itu cuma sekumpulan orang berseragam yg cari uang. Begitupun ketika saya dipecat, saya tdk menggugat. Malah enak, masa bertapa saya sudah usai, saya boleh kembali ke'istana' lagi.
Begitu prinsip saya.
Kalau tak mau miskin ya berhentilah jd guru honor. Apa bapak dan ibu tdk malu mengemis2 pada negara untuk diangkat jadi PNS? Mungkin bapak ibu menganggap itu hak kalian, tapi bagi saya tidak. Sebab kalau bicara hak, itu para kiai, para guru ngaji, yg mengajar banyak orang, lebih berhak diangkat negara. Tapi tdk mereka lakukan.
Bapak dan ibu jelas marah, tak mau disamakan dengan kiai. Sebab bapak dan ibu kuliah. Sudah banyak keluar uang.
Pertanyaan saya, kok sudah kuliah masih tdk cerdas juga? Kan bapak ibu menuntut kesejahteraan. Tinggal keluar saja, cari kesejahteraan di tempat lain.
Kalau mau mengajar, ya mengajar saja. Bahkan saya pernah hanya digaji 85ribu, dan saya pun pernah menawarkan pada kepala sekolah saya, tdk usah gaji saya. Saya cari uang di luar sekolahan, bukan di sini, di sekolah ini.
Maka, saran saya, perbaiki dulu niat, kuatkan mental, pelan2 berbisnislah di luar tembok sekolahan, dan barulah jadi guru honor. Sehingga kalau tak diangkat jd PNS tdk marah2 dan demo. Kalau diangkat ya kebetulan, mau disyukuri juga boleh. Jadi ndak ngarep2 seperti itu. "
Memalukan!!!! 

Dari postingan yang disampaikan Bapak Ali Antoni, kurang lebih kita bisa menyimpulkan bahwa, untuk menjadi seorang Guru, dibutuhkan niat dan tekat yang kuat untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Resiko seorang Guru, adalah tidak bisa mencapai kekayaan jika profesinya dipakai hanya untuk semata-mata mengubah taraf hidup tinggi, melainkan seharusnya hanya untuk terfokus membuat Sumber Daya Manusia yang berkualitas, berkarakter, dan mempunyai disiplin serta etos kerja tinggi. Fakta membuktikan bahwa kualitas SDM kita sangat jauh dibanding dengan negara lain khususnya dikawasan ASEAN. Tingkat korupsi meningkat, tawuran pelajar sudah menjadi tradisi, degradasi moral peserta didik disegala tingkat makin tinggi, adalah sebagian bukti bahwa kualitas Guru atau tenaga pengajar masih rendah. Semoga dengan apa yang sudah penulis sampaikan, bisa menjadi renungan untuk para Guru, baik Guru honorer maupun Guru tetap untuk bisa lebih terfokus untuk mencetak Sumber Daya Manusia yang lebih berkualitas.

Comments

Popular Posts